Jumat, 18 Juni 2010

Pasek Bendesa Mas dan Peyebaranya di Bali

Pasek Bendesa Mas dan Peyebarannya di Bali
oleh :
I Gede Sustrawan


1.1 Latar belakang

Bali merupakan sebuah daerah yang terkenal akan keindahan panoram alam serta budayanya. Keindahan yang sekarang kita warisi ini tidak dapat dilepaskan dari segi historis pulau Bali tersebut karena kekayaan alam serta keindahannya Bali menjadi pulau yang selalu diperebutkan untuk dikuasai oleh berbagai kerajaan pada terdahulu khususnya kerajaan-kerajaan besar yang pernah berkembang di Pulau Jawa sehingga berpengaruh pula terhadap Pulau Bali. Tercatat ada beberapa kerajaan dari Jawa yang pernah menyerang Bali seperti: Kediri (Jawa Timur) dibawah raja Jaya Sakti pada tahun 1172 M, Kertanegara (Singosari) pada tahun 1284, Majapahit dengan pemimpin pasukannya yaitu Gajah Mada pada tahun1343 M.

Seperti yang kita ketahui dan lihat pada kehidupan masa kini, Bali terkenal akan kehidupan religiusnya yang bercirikan Hindu atau sering dikenal dengan istilah “religius Hinduistis” yang mementingkan suatu keharmonisan dalam manjalankan kehidupan (sekala-niskala) dan ini telah melekat pada kehidupan masyarakat Bali manapun. Ciri kehidupan ini dapat dilihat dari berbagai aktifitas serta berbagai hasil karya orang Bali seperti: upacara keagamaan baik yang ada di pura maupun dirumah masing-masing, upacara adat, struktur dan bentuk bangunan (pura, maupun rumah), seni lukis, seni patung, dan sebagainya yang umumnya mencirikan kehidupan religiusitasnya.

Ciri khas kehidupan religius orang bali kini tidak bisa dilepaskan dari berbagai tokoh yang pernah ada dan telah menyumbangkan pemikirannya untuk pulau kecil ini seperti: Rsi Markandya, Mpu Gnijaya, Sang Kulputih, Mpu Kuturan dan lain sebagainya. Dengan berbagai keahlian yang dimiliki mereka meninggalkan negerinya untuk membangun Bali yang dulunya merupakan pulau yang tingkat kehidupan masyarakatnya masih rendah sehingga perlu ditata. Selain itu kedatangan para orang-orang suci ini ke Bali erat kaitannya dengan politik yaitu bagaimana hubungan dari kerajaan-kerajaan Bali kuno dengan kerajaan lainnya di luar Pulau Jawa seperti Kerajaan Kediri, Kerajaan Singosari, dan kerajaan lainnya yang tentunya berimplikasi positif bagi perkembangan Bali itu sendiri.

Dari sekian banyak tokoh tersebut yang paling terkenal dengan konsep yang berkaitan dengan penataan kehidupan bermasyarakat di Bali adalah Mpu Kuturan, beliau datang ke Bali pada hari Rebo Kliwon, Wara Pahang, Maduraksa (tanggal paing 6), candra sangkala: agni suku babahan atau tahun Icaka 923 (1001 M). Mpu Kuturan dikenal sebagai penggagas konsep desa pakraman di Bali (diwarisi sampai sekarang) yang berlandaskan pada apa yang disebut dengan ajaran Tri Hita Karana yang sering diartikan sebagai tiga hal utama penyebab kemakmuran. Adapun bagian-bagian dari ajaran ini antara lain: Parhyangan; hubungan manusia dengan Tuhan, Pawongan; hubungan manusia dengan manusia, Palemahan; hubungan manusia dengan lingkungan. Disamping mengembangkan konsep desa pekraman, beliau juga berjasa dalam kehidupan beragama dengan menyebarkan ajaran Tri Murti di Bali yaitu pemujaan tiga dewa utama dalam agama Hindu yaitu: Brahma, Wisnu dan Siwa.

Selain Mpu Kuturan ada juga tiga saudaranya yang datang ke Bali yaitu:

- Mpu Semeru, yang merupakan pemeluk dari aliran Siwa, beliau tiba di Bali pada hari Jumat Kliwon, Wara Pujut, bertepatan dengan hari purnamaning Kawulu, candra sangkala: Jadma Siratmaya Muka yaitu tahun Icaka 921 (999 M), yang kemudian berparhyangan di Besakih

- Mpu Ghana, penganut aliran Ganapatya tiba di bali pada hari Senin Kliwon, Wara Kuningan, tanggal 7, tahun Icaka 922 (1000 M), yang kemudian berparhyangan di Gelgel.

- Mpu Gnijaya, penganut Brahmaisme tiba di Bali pada hari Kamis Umanis, Wara Dunggulan, bertepatan pada sasih Kedasa, Prati Padha Cukla (tanggal 1), candra sangkala: muka dikwitangcu (tahun Icaka 928) atau tahun 1006 M, yang kemudian beliau berparhyangan di Bukit Blibis, Lempuyang.

- Sedangkan saudaranya yang lain yaitu Mpu Pradah tidak ikut ke Bali melainkan tinggal di Jawa.

Dari saudara-saudara Mpu Kuturan ini Mpu Gnijaya lah yang dianggap nantinya menurunkan warga pasek yang sampai sekarang masih ada dan tersebar di seluruh Bali. Keturunan dari Mpu Gnijaya ini dikenal dengan nama “Sapta Rsi”. Sapta Rsi tersebut diantaranya adalah : Mpu Ketek, Mpu Kananda, Mpu Wiradnyana, Mpu Witadharma, Mpu Ragarunting, Mpu Prateka, Mpu Dangka (Bendesa Manik Mas,1996:104). Perkumpulan dari keturunann-keturunan ketujuh Rsi ini dikenal dengan nama “Mahagotra Pasek Sanak Sapta Rsi” dan keluarga pasek yang ada di Bali lebih mayoritas dibandingkan dengan keluarga/klen-klen lainnya. Keturunan dari Sapta Rsi ini juga memiliki peranan penting dalam pemerintahan kerajaan terutama pada masa berkuasanya majapahit di Bali, salah satunya adalah Mpu Jiwaksara yang merupakan keturunan ke-6 dari Mpu Gnijaya. Mpu Jiwaksara inilah nantinya akan menurunkan Warga Pasek Bendesa Mas yang akan dibahas lebih lanjut dalam tulisan ini.

1. 2. Rumusan masalah

Dari latar belakang diatas maka dapat diambil beberapa rumusan masalah sebagai berikut :

1.2.1 Bagaiman sejarah Pasek Bendesa Mas di Bali?

1.2.2 Bagaimana perkembangan Pasek Bendesa Mas di Bali?

1. 3 Tujuan Penulisan

Dari rumusan masalah diatas, maka tujuan dari penulisan makalah ini adalah sebagai berikut :

1.3.1 Mendiskripsikan sejarah Pasek Bendesa Mas di Bali.

1.3.2 Mendiskripsikan perkembangan Pasek Bendesa Mas di Bali.

BAB II

PEMBAHASAN

2. 1 Sejarah Munculnya Pasek Bendesa Mas di Bali

Panca Pandita, Mpu Geni Jaya beserta adik-adiknya Mpu Semeru, Mpu Kuturan, Mpu Pradah dan Mpu Gana merupakan panca pandita dari India yang pada suatu ketika menghadap Raja Airlangga di Kerajaan Kediri. Kedatangan mereka ke Indonesia adalah terutama untuk membina pulau Bali atas perintah Bhatara Paçupati. Yang meneruskan perjalanan ke pulau Bali tersebut adalah:

1. Mpu Semeru menetap di Besakih.

2. Mpu Gana di Dasar Bhuwana, Gelgel.

3. Mpu Kuturan di Çilayukti, Padang.

Yang tinggal di Jawa adalah: Mpu Pradah di Pajarakan, Kediri dan Mpu Genijaya.

Mpu Geni Jaya (1157) mempunyai 7 putera (Sapta Pandita) yang tinggal di Kuntuliku, Jawa Timur. Dalam tahun 1157 Mpu Geni Jaya pergi ke Bali untuk mengunjungi adik-adiknya lalu menetap di Gunung Lempuyang. Pada saat kedatangan Mpu Gnijaya, Bali diperintah oleh Gajah Waktra (raja Bali Kuno terakhir) beserta pepatihnya Kebo Iwa dan Pasung Gerigis memerintah Bali pada tahun 1337-1343. Kemudian Bali di serang dan di taklukan oleh patih Gajah Mada dari Majapahit. Setelah perang, Mpu Jiwaksara yaitu generasi ke-6 dari Mpu Geni Jaya diangkat menjadi puncuk pimpinan pemerintahan Majapahit di Bali dengan gelar Patih Wulung. Ayahnya Mpu Wijaksara juga ikut ke Bali dan merupakan pendeta pertama dari Majapahit yang mengatur tata keagamaan di Bali setelah Bali jatuh ke tangan Majapahit (babad Bendesa Manik Mas,1996:102).

Pada tahun 1350 Patih Wulung (Mpu Jiwaksara) berangkat ke Majapahit untuk memberi laporan kepada Ratu Majapahit yakni Tri Buana Tungga Dewi tentang keadaan di Bali dan sekaligus mohon supaya cepat diangkat seorang raja di Bali sebagai wakil pemerintahan Majapahit. Akhirnya diangkatlah salah satu putra dari Danghyang Kepakisan, yaitu Dalem Ketut Kresna Kepakisan menjadi raja di Bali, berkedudukan di Samplangan yang dalam perkembangannya pindah ke Gelgel (Kabupaten Kelungkung sekarang).

Berselang beberapa tahun, Sri Kresna Kepakisan ingin mempersatukan Blambangan dan Pasuruan yang dikuasai kakaknya, yaitu Dalem Wayan dan Dalem Made dengan kerajaan Bali. Penyerangan dilakukan ke Pasuruan dibawah pimpinan Patih Wulung. Sri Kresna Kepakisan berpesan agar sang kakak jangan sampai dibunuh. Namun, dalam perang tanding antara Patih Wulung dan Dalem Pasuruan, yang terakhir ini terkena senjata yakni Dalem Pasuruan yang pada akhirnya menyebabkan ia gugur.

Setelah patih Wulung dengan pasukannya kembali ke Bali dan melaporkan jalannya peperangan yang berakhir dengan gugurnya Dalem Pasuruan, Sri Kresna Kepakisan menjadi sangat marah lantaran Patih Wulung telah melanggar pesannya sebagai tersebut di atas. Patih Wulung diusir dari Gelgel setelah dibekali beberapa sikut tanah dan beberapa ratus prajurit. Di samping itu juga diberi gelar Kiyai Gusti Pangeran Bendesa Manik Mas. Patih Wulung pindah ke Bali Tengah yang kemudian disebut Bumi Mas kira-kira dalam tahun 1358.
Ki Patih Wulung atau Kiyai Gusti Pangeran Bendesa Manik Mas mempunyai 2 putra, yaitu:
Putra pertama adalah Kiyai Gusti Pangeran Bendesa Manik Mas II (nantinya akan menurunkan warga pasek Bendesa yang tersebar di seluruh Bali) yang menetap di Desa Mas dan menurunkan:

a. Kiyai Gusti Pangeran Bendesa Manik Mas (III),

b. Gusti Luh Made Manik Mas,

c. Gusti Luh Nyoman Manik Mas Genitri, yang kemudian diperistri oleh Danghyang Nirartha.

Nama Bendesa Mas tetap tercantum sebagai pengenal garis keturunan. Dari sinilah menurun para Bendesa Mas yang tersebar di seluruh Bali antara lain di Gading Wani. Putra kedua dari Patih Wulung adalah Kiyai Gusti Pangeran Semaranata, menetap di Gelgel dan menurunkan Gusti Rare Angon, leluhur dari Kiyai Agung Pasek Gelgel.

Perlu diketahui istilah Pasek berasal dari istilah kata pacek yang berarti pejabat dan semua pegawai kerajaan dari Perdana Menteri, Panglima Perang, Prajurit dan pegawai lainnya adalah pejabat. Namun, dalam perkembangan selanjutnya istilah pasek sering dipakai untuk menunjukan asal-usul seseorang/kawitan dari keluarga atau leluhur mana ia berasal dan pemaknaan seperti inilah yang sekarang sering digunakan di Bali walaupun ditinjau lebih lanjut dari segi historis dan etimologisnya pemakain istilah tersebut tentunya sudah melenceng jauh.

2.2 Penyebaran Pasek Bendesa Mas di Bali

2.2.1 Kedatangan Danghyang Nirartha ke Bali.

Pada zaman Dalem Watu Renggong (1460 – 1550) datanglah ke Bali Danghyang Nirartha atau Pedanda Sakti Wawu Rauh dalam tahun 1489 lalu diangkat menjadi Bagawantha kerajaan. Danghyang Nirartha adalah putra dari Danghyang Semara Natha yang bersama-sama pindah dari Majapahit ke Daha, karena Majapahit telah jatuh ke tangan Islam pada tahun 1474. Islam kemudian juga merambat ke Kediri dan oleh karena itu Danghyang Nirartha pergi bersama kedua putra-putrinya yang masih kecil, yaitu Ida Suwabawa (wanita) dan Ida Kulwan (laki) ke Pasuruan. Di sini beliau menikah lagi dengan seorang putri Pasuruan yang melahirkan Ida Lor (Ida Manuaba) dan Ida Wetan.

Dari Pasuruan Danghyang Nirartha pindah lagi ke Belambangan dimana beliau menikah dengan adiknya Dalem Blambangan yang bernama Patni Keniten Saraswati dan melahirkan Ida Selaga (Ender), Ida Keniten, dan Ida Nyoman Stri Rai (wanita). Timbul keributan di istana Blambangan lantaran istrinya Dalem jatuh cinta pada Mpu Nirartha dan Dalem menuduh Nirartha mengguna-gunai sang permaisuri. Akhirnya Nirartha diusir dari Blambangan dengan ketujuh putra putrinya dan sang istri Patni Keniten Saraswati. Untuk menghindari hal-hal yang tidak diinginkan, beliau memutuskan untuk meninggalkan kerajaan Belambangan menuju Bali Dwipa.

Lontar, 14 a.14b :

Kunang sedateng puwa sira ring Bali Aga, tumedun sireng pelabuhan Purancak, Teninggal de maja ya, kari sire muang rabi tunggal lan putra pitung wiji, saha gagawan nira pusaka, piagem, kalpika ratna bang terusing leng. Tansah kinatik keris kaliliran nira Ki Baru Jarijimuang tateken Ki Baru Rambat. Dadia katemu wang mangwan ring tepining samudra….

Sesampaianya di Bali Aga, turun di pelabuhan Purancak, buah labu ditinggalkan disana, sedangkan istri dan ketujuh putra putrinya beserta pusaka, piagam, kalpika ratna bang. Di tepi pantai begitu sangat sepi tak ada orang yang terlihat di sana, kemudian Danghyang Nirartha memukul mukul pusakanya, keris baru jariji, dengan tongkatnya Ki Baru Rambat.

Tiba-tiba ada orang yang lewat dari tepi laut, beliau bertanya kepada orang itu tentang kemana arah jalan keluar dari pantai ini. Orang tersebut menunjuk kearah wetan, maka berjalanlah beliau disertai ketujuh putra putrinya ditemani sang istri. Perjalanan dilanjutkan ke arah timur dan suatu ketika rombongan sampai di Desa Gading Wani, yang penduduknya kebetulan ditimpa penyakit sampar.

Kedatangan Danghyang Nirartha disambut oleh Ki Bendesa Gading Wani dengan ramah dan memohon kepada beliau agar sudi menolong mengobati mereka yang sedang sakit. Berkat kesaktian Danghyang Nirartha berhasil menyembuhkan rakyat Gading Wani dan sejak itu beliau disebut pula Pedanda Sakti Wawu Rauh. Sebagai tanda bakti Ki Bendesa Gading Wani mempersembahkan kepada beliau seorang putrinya bernama Ni Luh Petapan untuk dijadikan pelayannya.

Danghyang Nirartha makin terkenal di Bali dan oleh karena itu Ki Pangeran Bendesa Manik Mas mengundang beliau untuk datang ke Bumi Mas, lebih-lebih setelah diketahui, bahwa mereka masih saudara sepupu. Ki Pangeran Bendesa Manik Mas I membuatkan pasraman dan sebuah permandian di Bumi Mas untuk Danghyang Nirartha. Setelah cukup lama tinggal di Bumi Mas, Ki Pangeran Bendesa Manik Mas mempersembahkan putrinya Gusti Nyoman Manik Mas Genitri kepada Danghyang Nirartha untuk dijadikan istri (lontar Bendesa Mas:72b). Dari perkawinan ini lahirlah seorang putra yang diberi nama Ida Bokcabe. Ni Berit putri yang dibawa dari Melanting-Pulaki dan Luh Petapan putri dari Ki Bendesa Mas Gading Wani akhirnya dikawini pula dan dari yang pertama lahir Ida Andapan sedangkan dari yang kedua lahir Ida Petapan.

2.2.2 Bumi Mas Diserang Sukawati (1750)

Kira-kira dalam tahun 1750 Bumi Mas diserang oleh Kerajaan Sukawati, oleh karena Pangeran Bendesa Manik Mas II tidak mau menyerahkan pusaka-pusakanya kepada Dalem Sukawati. Barang-barang pusaka dimaksud adalah pusaka leluhur Majapahit yang dahulu diberikan oleh Ratu Majapahit dan Patih Gajah Mada kepada Ki Patih Wulung sebagai penguasa Bali Aga Majapahit. Pusaka itu terdiri dari keris, mahkota dan sebuah permata yang sangat dimuliakan bernama Menawa Ratna.

Penolakan Pangeran Bendesa Mas tersebut berdasarkan sebuah prasasti yang dahulu di keluarkan oleh Dalem Kresna Kepakisan (leluhur Dalem Sukawati) kepada Ki Patih Wulung ketika diusir dari Gelgel ke Bumi Mas. Dalam prasasti ini antara lain di muat: “Kekayaan, harta benda, pusaka-pusaka dan lain-lain yang menjadi milik Bendesa Mas tidak boleh diambil atau dijarah atau dikuasi”.

Dalem Sukawati tidak mengindahkan atau tidak memahami isi wisama ini, lalu Bumi Mas diserang dengan pasukan besar yang mengakibatkan terbunuhnya Sang Pangeran Bendesa Mas, dan keluarganya melarikan diri dari Bumi Mas termasuk keluarga Brahmana Mas. Keluarga Bendesa Mas menjadi cerai berai dan mengungsi kesegala plosok Pulau Bali dan juga termasuk ke Gading Wani.

Dalam persembunyiannya tersebut para keturunan Bendesa Mas ini menyamarkan diri dengan tidak memakai gelar kebangsawanannya agar tidak dapat diincar oleh pasukan Sukawati dan mereka berbaur dan hidup dengan masyarakat dimana mereka bersembunyi hingga sekarang ini. Namun, mereka tetap mengakui bahwa leluhurnya adalah berasal dari Ki Bendesa Manik Mas dan gelar tersebut kebanyakan telah di modivikasi dan tidak lagi dipakai akhiran kata “Mas” melainkan disesuaikan dengan nama daerah tempat mereka tinggal, seperti Pasek Bendesa Gading Mani (keturunan Bendesa Mas yang menetap di Gading Wani), Pasek Bendesa Dalem Guliang (menetap di banjar Guliang, Desa Pejeng, Gianyar).

Berdasarkan babad-babad dan sumber lainnya yang ada, maka Pura Kawitan utama para keluarga Bendesa Mas adalah Pura Lempuyang Madia, bekas parhyangan Mpu Genijaya. Di samping itu pula nyungsung ke Pura Gading Wani (Lalanglinggah), Pura Taman Pule (Mas), Pura Çilayukti (Padang Bai), dan Pura Dasar Bhuwana (Gelgel). Di Pura Besakih dibangun sebuah pelinggih untuk memuja arwah suci Danghyang Nirartha, di sebelah timurnya didirikan pula pelinggih untuk Bendesa Mas. Namun, lelintihan atau asal-usul dan hukum kepurusa, para Bendesa Mas patut nyungsung Pura Pedharman di komplek Pura Besakih, yaitu Pura Ratu Pasek. Sebagai bagian dari Warga Pasek, Pasek Bendesa Mas merupakan bagian dari Mahagotra Pasek Sanak Sapta Rsi yang merupakan perkumpulan besar yang bertujuan untuk mengikatkan tali persaudaraan antar semua keluarga pasek. Dan organisasi ini juga merupakan salah satu bukti adanya persatuan dari seluruh warga pasek khusunya yang ada di Bali.

BAB III

PENUTUP

3.1. Kesimpulan

Dari pemaparan diatas dapat disimpulkan bahwa leluhur utama dari Pasek Bendesa Mas yang sekarang berkembang di Bali adalah berasal dari Mpu Jiwaksara yang merupakan generasi ke-6 dari Mpu Genijaya. Pada saat awal pemerintahan Majapahit di Bali, Mpu Jiwaksara diangkat sebagai seorang patih dengan gelar Patih Wulung. Namun, karena kesalahannya ia kemudian diusir dari Keraton (Gelgel) dan diberikan sebuah daerah di daerah Bali Tengah yaitu sebuah daerah yang dikenal dengan nama Mas (kemudian menjadi desa Mas). Patih Wulung sendiri memilki 2 orang putra yang pertama bernama Ki Pangeran Bendesa Manik Mas II (ikut tinggal di desa Mas) dan yang kedua adalah Ki Gusti Pangeran Semaranata (menetap di Gelgel). Dari putra pertama inilah nantinya yang akan menurunkan warga Pasek Bendesa yang kemudian menyebar ke seluruh Bali.

3.2. Saran

Sebagai umat beragama Hindu hendaknya mengetahui asal-usul keluarganya (Kawitan/Pedharman). Karena sebagai Umat Hindu wajib untuk memuja leluhurnya yang telah memberikan anugrah kepada pemujanya. Maka dari itu semoga makalah ini bermanfaat bagi Umat Hindu, khusnya Pasek Bendesa Mas di Bali.

DAFTAR PUSTAKA

Sangka, I Gusti Ngurah Ketut. 1978. Lontar Bendesa Mas. (tidak diterbitkan). Koleksi Gedung Kertya.

Mas, Rsi Bintang Danu Manik dan I.N. Djoni Gingsir.1996.K.G.P. Bendesa Manik Mas.Jakarta: Yayasan Diah Tantri-Lembaga Babad Bali Agung